Sunday, May 17, 2015

Sejarah dan Riwayat Pembentukan Hadits Dari Masa ke Masa (Al Jami'ush Shahih Bukhari)

بسم الله الرحمن الرحيم

Saya akan mencoba memberi paparan Sejarah dan Riwayat Pembentukan Hadits. Dimana posting ini saya terbitkan ketika ada salah seorang sahabat saya bertanya "Para penulis Hadits itu kan hidupnya tidak sezaman dengan Rasullah SAW, tapi kenapa kok dia bisa membuat buku Hadits. Bahkan buku dari Hadits tersebut Sahih pula". Dengan nada kurang meyakini Hadits yang sahih itu sahabat sayapun enggan mempelajari ilmu Agama Islam lebih dalam.



Mudah-mudahan setelah saya menjabarkan ini para Sahabat dan Teman-Teman sekalian menjadi ingin memperdalam ilmu Agama Islam.

Pendahuluan

Hadits (ejaan KBBI: hadis, bahasa Arab: الحديث Tentang suara ini dengarkan , transliterasi: Al-Hadîts), adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an, dalam hal ini kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an.

Pada awalnya Rasulullah SAW melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an. Sehingga pada saat itu para sahabat hanya mengandalkan hafalan dan apabila ragu ada perdebatan para sahabat pun langsung bertanya kepada Rasulullah SAW.

Walaupun pada masa itu adalah masa jaya Islam yang daerah kekuasaannya luas, namun mereka tidak ragu bepergian ketempat Rasulullah SAW hanya untuk menanyakan perkara-perkara atau tentang perilaku sang Nabi.

Meski pada masa itu al hadist berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Di antaranya ialah:
  1. 'Abdullah bin 'Umar bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah)
  2. 'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).

Masa Khalifah ar-Rasyidin (Rasullah SAW wafat)


Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah mengenai al hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai al hadist ataupun Al Quran, dan di antara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.

Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong para sahabat makin saling bertemu bertukar al hadist.

Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa permusuhan di antara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian bergeser kepada bidang syari'at dan aqidah dengan membuat al hadist maudlu (palsu) yang jumlah dan macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan / perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau pahamnya.

Masa Al-Abadillah

Pada Zaman ini Hadits belum juga dibukukan, walaupun pada zaman ini keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi'in mengingat kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima al hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi'in ini sangat berhat-hati sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi sumber/pemberita al hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi'ut tabi'in.

Masa Tabi'in sampai Masa Murid-Murid atba’ Tabi’it Tabi’in (Masa Penghimpunan dan pendiwanan)

Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk angkatan tabi'in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak al hadist. Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Untuk itu dia Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya: sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).

Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana yang maqbul dan mana yang mardud. Para ahli al hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah menyelamatkan 90 al hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.

Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun al hadist yang antara lain:
  • Mekkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)
  • Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)
  • Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)
  • Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)
  • Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)
  • Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)
  • Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)
  • Kuffah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)
  • Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)
  • Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)
  • Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)
  • Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)
Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan al hadits dalam kitab-kitab pada masa Abad II Hijriyah ini, adalah bahwa al hadits tersebut belum dipisahkan mana yang Marfu', mana yang Mauquf dan mana yang Maqthu.

Masa Penyusunan dan Pembukuan Hadits

Adapun pendiwanan al hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal yang mempelopori usaha ini adalah: Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M) Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.

Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku al hadits disebut pendiwan) dan penyusunan al hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali dengan pengelompokan al hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana al hadits yang marfu', mauquf dan maqtu. Al hadits marfu' ialah al hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, al hadits mauquf ialah al hadits yang berisi perilaku sahabat dan al hadits maqthu' ialah al hadits yang berisi perilaku tabi'in. Pengelompokan tersebut di antaranya dilakukan oleh:
  • Ahmad bin Hambal
  • 'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi
  • Musaddad Al Bashri
  • Nu'am bin Hammad Al Khuza'i
  • 'Utsman bin Abi Syu'bah
Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 al hadits, 10.000 di antaranya berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama 'Abdullah dan Abu Bakr Qathi'i sehingga tidak sedikit termuat dengan yang dla'if dan 4 hadist maudlu'.

Usaha Ishaq bin Rahawaih dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan kitab al hadits terwujud dalam kitab Al Jami'ush Shahih Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 hijriyah.

Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan al hadits yang shahih dari al hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam al hadits, yaitu:
  • Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) - berisi al hadits yang shahih saja
  • Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian ulama selain Sunan Ibnu Majah berisi al hadits shahih dan al hadits dla'if yang tidak munkar.
  • Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam al hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh sebab itu hanya berguna bagi para ahli al hadits untuk bahan perbandingan.
Sumber :

No comments:

Post a Comment